Bagaimana jika Bung Hatta adalah Presiden pertama Indonesia: Sebuah Analisis Sejarah

© Wikimedia Commons

Tidak diragukan lagi, Mohammad Hatta, yang sering dikenal sebagai Bung Hatta, adalah salah satu tokoh terpenting dalam sejarah Indonesia. Kemerdekaan Indonesia dari Belanda sebagian besar berkat jasa Bung Hatta. Beliau memimpin delegasi Indonesia ke Konferensi Meja Bundar, yang menandai titik balik penerimaan masyarakat internasional terhadap Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat. Bung Hatta tampaknya telah sepenuhnya dibayangi oleh kebesaran Sukarno dalam konsep politik di Indonesia. 

Tidak mengherankan jika dua orang yang bertanggung jawab untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia ini, sering berselisih paham dalam gagasan politik dan kebangsaan. Namun jika berandai-andai, apa yang akan terjadi di Indonesia jika Bung Hatta-lah yang menjadi presiden pertama Indonesia. Apa bedanya Indonesia saat ini dengan Indonesia masa lalu? 

Dilansir dari akun YouTube PinterPolitik TV, berikut ini adalah gambaran bagaimana jika bung Hatta menjadi presiden pertama Indonesia. 

Penting untuk dicatat bahwa Soekarno-Hatta adalah dua orang yang berbeda. Dididik di Belanda, Hatta memiliki pandangan yang luas tentang konsep politik dan keilmuan yang membuatnya menjadi menyukai forum-forum diskusi politik. Sebagai pemimpin, ia dan Sjahrir menggabungkan teori manajemen Barat dengan prinsip-prinsip tradisional Indonesia. Namun Sukarno, dengan karisma dan kemampuan orasinya, lebih condong ke arah kerakyatan dan ketimuran.

Pada tahun 1932, Hatta dan Sukarno bertemu untuk pertama kalinya. Hal ini terjadi setelah pemerintah Hindia Belanda membubarkan PNI. Terjadi perpecahan di dalam PNI, dengan para loyalis Sukarno membentuk Partai Indonesia dan para pendukung Hatta membentuk Partai Pendidikan Nasional Indonesia, yang sering dikenal sebagai PNI Baru. Awalnya, Hatta mengkritik keputusan pembubaran PNI, Hatta berpendapat bahwa pembubaran tersebut terlalu didasarkan pada karakteristik ketokohan. Menurut Hatta, ia lebih menyukai pendekatan PNI baru, yang menekankan pada pendidikan anggota, lebih sesuai dengan keinginannya. 

Sedangkan Sukarno berpendapat bahwa ketokohan itu sangat penting karena dapat memberi akses langsung ke masyarakat, sehingga lebih mudah untuk membangkitkan semangat mereka untuk melawan penjajah. Akibatnya, ada banyak poin ketidaksamaan antara kedua bapak proklamasi ini sejak awal. Namun, mereka mampu mengesampingkan perbedaan mereka untuk berjuang bersama demi kemerdekaan Indonesia. Sebagai wakil presiden, Hatta hanya bertahan mendampingi Sukarno selama 11 tahun. Dia mengundurkan diri pada 1 Desember 1956, dengan alasan meningkatnya egoisme dan kepemimpinan Sukarno yang berpusat pada diri sendiri.

Pandangan dan pengalaman Bung Hatta yang luas akan membawa Indonesia ke arah yang berbeda seandainya ia menjadi presiden pertama Indonesia. Sebagai contoh, Hatta percaya bahwa pemerintahan yang demokratis harus mendorong transparansi dan keterbukaan ekonomi. Jika Hatta terpilih sebagai presiden, Indonesia mungkin tidak akan menerapkan demokrasi terpimpin seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Sukarno. Menurut kutipan dari buku Soekarno-Hatta karya Solichin Salam, Sukarno lebih menyukai penerapan negara kesatuan. Sementara itu, ada kemungkinan jika Hatta menjadi presiden Indonesia akan menjadi negara federal. Hatta melihat bahwa Amerika Serikat dan setidaknya Uni Soviet pada masa awal telah berhasil menerapkan model negara federal ini. Akan lebih masuk akal jika daerah-daerah mengejar pembangunan mereka sendiri. Model negara federal juga sangat mungkin mencegah pemberontakan di masa depan. Kita tahu bahwa pemberontakan seperti PRRI dan Permesta dipicu oleh ketidakpuasan terhadap pemerintahan pusat. Ini berarti bahwa jika Hatta terpilih sebagai presiden, Indonesia sudah dipastikan akan beralih ke sistem pemerintahan federal seandainya itu benar-benar terjadi, hal tersebut akan menghindari pergolakan politik yang terjadi di era Sukarno, termasuk perang dengan Malaysia, kerusuhan PKI 1965, dan pemberontakan-pemberontakan lainnya. 

Masalah pembentukan federasi Malaysia, Hatta malah dilaporkan telah menyetujui federasi tersebut berdiri. Dapat dipastikan bahwa Hatta tidak akan bersahabat dengan PKI meskipun ia terpilih sebagai presiden. Hatta dikenal berseberangan dengan ideologi komunis sejak di Belanda. Selain itu, berlawanan dengan keputusan Sukarno, Indonesia tidak akan menarik diri dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penekanan pada pertumbuhan ekonomi juga cenderung meningkat. Hal ini karena Hatta menaruh banyak pemikiran dan perencanaan dalam kebijakan-kebijakannya. 

Hatta mencontohkan prinsip ini ketika ia memprioritaskan tujuan pengakuan kedaulatan di atas isu-isu lain dalam KMB. Dalam iklim politik seperti ini, Indonesia diharapkan dapat berkembang, terutama secara ekonomi. Sebagai contoh, daripada merealisasikan kebijakan politik mercusuar Sukarno, sumber daya pemerintah akan lebih baik dihabiskan untuk pertumbuhan ekonomi daripada pengeluaran yang tidak penting.

Lalu ada isu Papua yang juga tidak kalah penting. Faktanya, Bung Hatta adalah orang yang menentang integrasi Papua ke dalam Indonesia. Bung Hatta berpendapat, orang Papua harus menentukan nasib mereka sendiri. Hatta khawatir jika Indonesia tetap memaksa mengambil alih Papua, maka akan dianggap sebagai imperialis. Sikap Hatta didasari oleh perbedaan etnis. Hatta bahkan menyarankan agar Indonesia lebih baik bergabung dengan Malaysia dan Borneo Utara. Selain itu, Papua jauh dari pusat kekuasaan di Indonesia; oleh karena itu, jika terjadi konfrontasi dengan orang Papua atau dengan Belanda, misalnya, akan dibutuhkan sumber daya dan tenaga kerja yang besar. Akibatnya, kecil kemungkinan Papua akan tetap menjadi bagian dari Indonesia jika Hatta terpilih sebagai presiden.

Yah, tentu ada nilai positif dan negatifnya. Kebijakan Hatta mungkin kurang disukai dari sudut pandang "NKRI Harga Mati" garis keras. Mungkin juga Dwifungsi ABRI yang begitu kuat tidak akan terjadi, Pancasila tidak akan menjadi satu-satunya ideologi, dan oligarki tidak akan begitu kuat seperti sekarang. Selain itu, berbagai hasil hipotesis lain secara teoritis mungkin terjadi. Tentu saja, Indonesia akan terlihat sangat berbeda hari ini jika hal itu terjadi. Bagaimanapun, tidak dapat dipungkiri bahwa Bung Hatta adalah salah satu tokoh kunci dalam pembangunan Indonesia. Mungkin benar ia dan Sukarno sering berbeda pendapat. Namun, kita harus mengambil hikmah dari fakta bahwa teladan mereka menunjukkan bagaimana orang-orang dari latar belakang yang berbeda dapat bekerja sama untuk kebaikan masyarakat yang lebih besar. Kerendahan hati Bung Hatta, dapat menjadi pelajaran yang dapat dipelajari oleh para pemimpin kita saat ini. 

Mungkin karena itulah Iwan Fals hanya bikin satu lagu untuk Bung Hatta dan tidak ada satu pun ada lagu tentang Soekarno. Jadi bagaimana menurut Anda? Jika Bung Hatta menjadi presiden Indonesia, bagaimana Anda akan menggambarkan negara ini? 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama